Tuesday 31 January 2012

Etika Lingkungan: Kita dan Alam bukan ‘Kesatuan’

Mengulik otak untuk ide untuk acara Arte-Polis di ITB. Menurut tafsiran saya akan tema, yang ingin dibahas adalah diperlukannya hubungan antar disiplin-disiplin ilmu untuk mengkaji ‘the making of place’. Saya akan membahas bagaimana ilmu filsafat dan ilmu design bisa melengkapi satu sama lain dalam memberikan solusi terhadap persoalan ‘living smart by design’ yang menjadi sub-tema acara ini.

Secara umum, dalam wacana environmentalism, tugas filsafat adalah menjelaskan elemen-elemen terselubung dari hubungan antara manusia dan alam, yang mungkin terlewatkan oleh perspektif ilmu yang lain. Seperti yang kita tahu, ada dua asumsi terkenal yang mendasari pengertian populer tentang hubungan ini. Pertama, asumsi bahwa alam adalah suatu domain netral, yang menjadi ‘bermarkna’ karena proyeksi manusia akan berbagai perasaan dan penilaiannya. Alam adalah ‘sesuatu yang ada di luar sana’, dan hanya mempunyai ‘makna’ karena adanya manusia yang mempunyai kemampuan untuk ‘menyorotkan’ berbagai gagasan dan norma kepadanya. Asumsi ini bermasalah, karena meletakkan manusia pada posisi yang memiliki kekuatan sebagai ‘penghasil makna’, dan juga mengimplikasikan bahwa segala tindakan kita tidak hanya ‘bermakna’, tapi juga ‘berbobot’, dan bahkan ‘bernorma’. Lihat sekilas berbagai kerusakan lingkungan yang ada disekitar kita, dan kita akan sadar bahwa premis ini tidak benar. Tindakan manusia sering tidak ‘bernorma’ ataupun ‘bermakna’, maka sumber ‘makna’ dari kejadian alam bukanlah manusia.

Jadi apa dong? Asumsi terkenal kedua beranggapan bahwa hubungan antara manusia  dan alam dicirikan oleh ‘kesatuan’ antaranya. Ini memang pendapat yang lebih bisa dipertanggung-jawabkan daripada gagasan akan ‘alam-sebagai-objek’ diatas. Makna dan nilai alam, menurut perspektif ini, terbentuk karena adanya sebuah ‘kinship’ atau ‘kekerabatan’ antara kita dan alam. Di bingkai teleologis seperti ini, manusia dan alam dianggap ‘bersatu’ dengan selaras dan seimbang. Seperti kita lihat, kesalahan asumsi pertama tadi terletak pada  reduksinya akan ‘keliaran’ alam sebagai semata objek netral tanpa makna, jika tidak ada kehadiran manusia. Kesalahan asumsi kedua terletak pada pengertian bahwa manusia dan alam mempunyai ‘kesatuan’, dimana manusia bisa selalu sepenuhnya mengerti cara-cara kerja dan hukum-hukum alam.

Caspar David Friedrich, Wanderer above the Sea of Fog, 1818

Ini juga jelas salah. Karena, seperti yang sering kita rasakan, nature overwhelms: sering kita tidak dapat menduga atau mengerti sepenuhnya kejadian-kejadian alam. Ini dirasakan baik dalam suasana takjub seperti si figur orang di lukisan Caspar David  Friedrich diatas, maupun dalam pengalaman terperangah saat melihat perubahan ekologis sebagai dampak dari degradasi lingkungan. Tidak ada ‘kesatuan’ atau ‘ke-sambungan’ yang harmonis disini antara pengertian, kepercayaan maupun harapan saya akan alam, dengan alam itu sendiri secara konkrit dan riil.


Smog in Jakarta

Jadi, gagasan tentang etika lingkungan hidup yang lebih ‘manusiawi’ (apapun itu maksudnya) mungkin bisa terbentuk  dari eksplorasi tentang ide discontinuity (ketidak bersambungan?) yang mencirikan hubungan antara kita dan alam. Di beberapa posting berikutnya, akan saya coba bongkar ide awal ini.

Friday 20 January 2012

Peter Zumthor's 'Thinking Architecture'


Dari buku 'Thinking Architecture', yang terdiri dari 4 kuliah Zumthor. Sayangnya sudah lama out-of-print... di abebooks harganya GBP 857.22


To me, buildings can have a beautiful silence that I associate with attributes such as composure, self-evidence, durability, presence, and integrity, and with warmth and sensuousness as well; a building that is being itself, being a building, not representing anything, just being.



The sense that I try to instil into materials is beyond all rules of composition, and their tangibility, smell, and acoustic qualities are merely elements of the language we are obliged to use. Sense emerges when I succeed in bringing out the specific meanings of certain materials in my buildings, meanings that can only be perceived in just this way in this one building.



When I concentrate on a specific site or place for which I am going to design a building, when I try to plumb its depths, its form, its history, and its sensuous qualities, images of other places start to invade this process of precise observation: images of places I know and that once impressed me, images of ordinary or special places places that I carry with me as inner visions of specific moods and qualities; images of architectural situations, which emanate from the world of art, or films, theater or literature.






Thank you arcspace.com.


Wednesday 18 January 2012

The Anthropological Machine

Saya sedang membaca The Open: Man and Animal (Giorgio Agamben). Ingat thesis 'the end of history' milik Fukuyama? Setelah Perang Dingin, Fukuyama mengatakan bahwa yang kita saksikan bukan semata periode Pascaperang (Postwar) tapi akhir sejarah  sebagai evolusi progresif, dimana masa depan selalu dimengerti sebagai 'kemajuan' dari kejadian yang telah terjadi di masa sebelumnya. Disini, Fukuyama merujuk pada ide 'posthistory'nya Kojeve, dan menjadi salah satu filsuf kontemporer yang terus mengingatkan kita akan betapa bermasalahnya ide 'kemajuan' di akhir abad 20. Ambil contoh teknologi, misalnya. Apakah kita masih bisa menilai perkembangan teknologi sebagai suatu kemajuan, mengingat kekejaman dan kekerasan tak terbayangkan yang juga menjadi dampaknya?

Jadi, 'sejarah' - dalam pengertian awamnya - telah berakhir. Tragedi-tragedi yang terjadi diabad 20 telah meruntuhkan perumusan humanisme/ kemanusiaan yang diberikan oleh Modernisme. Nah, bagaimana dengan manusia di akhir sejarah? Apakah bisa pengertian kita akan kemanusiaan - apa yang membuat manusia 'manusia' - untuk tetap sama?  Ini yang sekarang menjadi aspirasi pascahumanisme, untuk merevisi perumusan Modern tentang sejarah dan humanisme yang tidak lagi memadai. 

Di buku ini Agamben memaparkan gagasan-gagasan tentang sifat kemanusiaan pascahumanis, terbingkai oleh pengertian kita akan hubungan antar manusia dan binatang. Dengan demikian, diharapkan ambiguitas batasan-batasan yang ada antara manusia dan yang bukan manusia - seperti binatang - akan tersingkap. Batasan-batasan seperti rasionalitas dan bahasa: katanya kan manusia punya rasionalitas dan bahasa, binatang tidak, dan kategori seperti inilah yang membedakan manusia dan binatang. Agamben memberikan contoh dari teori evolusi Darwin yang diterapkan oleh Ernst Haeckel di tahun 1899, yang mempunyai hipotesa bahwa manusia berkembang dari apa yang disebutnya "Pithecanthropus alalus", atau 'manusia tanpa bahasa': "... during the Pilocene period, arises the ape-man without speech (the Pithecanthropus alalus), and from him, finally, speaking man." (34)

Padahal - dan disini Agamben dibantu oleh teori Linguistik milik Heymann Steinhal tentang asal muasal manusia - pembedaan antara manusia dan yang bukan manusia berdasarkan pemilikan bahasa sebenarnya tidak terlalu jelas. Dari mana asalnya pembedaan ini? Dari asumsi manusianya sendiri. Jadi batasan ini hanya ada karena sebelumnya sudah dibentuk oleh manusia. Maka, gagasan bahwa manusia, menurut teori evolusi, berasal dari perkembangan bahasa adalah sebuah kontradiksi. Sudah jelas aneh, kalau dikatakan manusia berasal dari bahasa, sedangkan bahasa sendiri berasal dari manusia. Lebih aneh lagi, karena sekarang kita mengatakan bahwa bahasa merupakan batasan antara manusia dan yang bukan manusia. 

Batasan-batasan ini terbentuk, menurut Agamben, oleh apa yang disebutnya sebagai 'the anthropological machine', sebuah 'alat' buatan manusia untuk mengetahui kemanusiaannya. Dan alat ini hanya bisa berfungsi karena dimotori oleh zona-zona ambigu - seperti gagasan tentang bahasa tadi, tapi terlebih dari itu juga kemampuan bernalar, akhlak, kepercayaan religius tentang 'penyelamatan', dlsb. Kategori-kategori ini bukanlah sifat psiko-fisiologis manusia yang ada secara alami, tapi hanya asumsi manusia tentang apa yang membedakannya. 

Dari sisi ini, telihat bahwa pengertian kita akan kemanusiaan hanya terbentuk dari kategori-kategori 'kosong'. Dan  pengkategorian semu seperti ini hanya memperlihatkan bahwa tanpa kategori-kategori ini yang ada hanyalah apa yang Agamben sebut sebagai 'bare life': kehidupan yang dilucuti baik dari kemanusiaan tapi juga kebinatangan. Tapi ini tidak perlu disesalkan, karena revisi tentang humanisme itu dapat beranjak dari 'titik kosong' ini. Berpikir tentang keberlanjutan setelah 'akhir' sesuatu tidak gampang, apalagi kalau yang berakhir itu 'sejarah' atau 'humanisme'. Menurut saya, kemampuannya menanggapi masalah ini dengan positif dan kritis adalah kontribusi yang penting dari Agamben.



Sunday 15 January 2012

Jawaban di Luar Pilihan Ganda



Saya sedang mengawasi tryout Ujian Nasional SMA. Ini adalah lembar jawabannya. 100 baris terdiri dari lingkaran A B C D E yang dianggap dapat menggambarkan pengetahuan siswa dengan memadai. Siswa-siswa ini menghabiskan sebagian besar dari 3 tahun masa SMA mereka untuk ujian-ujian ini, dan lihat berapa besar kesempatan yang diberikan untuk mengekspresikan dirinya - tidak ada sama sekali. Tidak ada pertanyaan esai yang harus dijawab dengan lebih dari sekadar mengisi lingkaran-lingkaran ini dengan pensil 2B, tapi dalam kata dan kalimat. Dari observasi saya, kemungkinan besar ini adalah salah satu alasan terkuat mengapa mahasiswa begitu sulit beradaptasi dengan lingkungan Perguruan Tinggi, dimana mereka diharuskan menulis paper. Paper menunjukkan bahwa siswa - di tingkat apapun - tidak hanya mengerti apa yang mereka pelajari, tapi juga melatih mereka untuk berpikir secara kritis terhadap materi pelajaran itu dan mengartikulasikan pendapat mereka dalam cara yang dapat dimengerti oleh orang lain. Kalau siswa SMA terus diuji dengan cara ini, generasi-generasi selanjutnya akan menghadapi resiko besar dalam beradaptasi dengan hidup setelah pendidikan karena mereka tidak akan dinilai hanya dalam ujian pilihan ganda, dimana akan selalu ada satu jawaban yang benar diantara beberapa pilihan yang tersedia.



I'm supervising high school National Examination tryouts today. This is what the answer sheet looks like in Indonesia. 100 lines of circled A B C D Es that are meant to adequately display the students' knowledge. These kids gear the best part of the 3 years they spent in high school towards doing well in these exams, and look how much space they have to express themselves - none. There are no essay questions that are to be answered by more than just pencilling in these circles, but with actual words and sentences. From my observation, this is probably one of the biggest reasons why they have such difficulty adapting to life in Higher Education where they are expected to write papers. Course papers show not only that students understand what they are learning, but also train them to think critically about the course content and articulate their opinions in a way that others will understand. If high school students continue to be examined like this, then generations to come will face serious risks in adapting to life after education because they won't only be tested in multiple-choice exams, where there will always be one right answer among the choices given.

Thursday 12 January 2012

The 'Face' of the Environment (3)


Saya mengakhiri posting ini dengan ide Casey bahwa ‘permukaan’ – sebagai elemen dari ‘tempat’ – mempunyai peran penting untuk seorang manusia dalam membentuk hubungan etika dengan lingkungan sekitar (environmental ethics). Hal ini dikarenakan dua atribut spesifik dari ‘permukaan’: ekspresifitas (expresivity) dan kesederhanaan (simplicity). Menurut analisanya, permukaan-permukaan ruang hidup kita mempunyai kapasitas untuk ‘meng-ekspresikan’ – Casey tidak menjelaskan ‘mengekspresikan apa’, tapi menurut saya maksudnya meng-ekspresikan ‘suasana’ atau mood. Casey memberikan beberapa contoh variasi permukaan yang memberikannya kemampuan ekspresif: warna, kelenturan (misalnya permukaan kertas), elastisitas (misalnya karet), tekstur, dll. Ambil contoh sofa ini:


Lanjut ke analisa selanjutnya mengenai kesederhanaan (simplicity). Permukaan menjadi kompleks melalui berbagai variasinya. Sofa berbahan kulit sintetis diatas mempunyai permukaan yang kompleks, terdiri dari variasi warna yang kecoklatan, padding yang empuk, tekstur artifisial yang sedikit lengket dlsb. Kompleksitas variasi ini bisa ‘diakomodir’ atau disatukan oleh permukaan sofa karena permukaan ini juga mempunyai kesederhanaan. 

Sekarang ambil contoh sebuah sungai berlimbah: 


Dimulai dengan sekilas mata yang menyadarkan kita akan adanya bahaya disini, kita mulai memperhatikan, karena adanya 'intensitas' (intensity) di permukaan ini. 'Intensitas' disini berbeda dengan 'intensitas' yang kita rasakan pada saat, misalnya, melihat sebuah karya seni yang menggugah, yang cukup kita perhatikan tapi tidak harus mengundang tindakan. Ini karena 'intensitas' disini menandakan sebuah 'gejala' akan bumi yang sedang 'sakit', dan kita mulai memikirkan, membuat penilaian dan – semoga – tergerak untuk memberi pertanggung jawaban atas kerusakan ini.

Inilah 'Wajah' dari lingkungan - the 'Face' of the environment. Disini, sekilas mata tidak lagi cukup: "my glance... no longer suffices." Karena, degradasi yang diperlihatkan oleh 'Wajah' ini tidak lagi hanya meminta perhatian kita tapi menuntut kita. Menuntut untuk bertindak secara etis, yang diawali dengan memperhatikan dan kemudian memberi pertanggung jawaban atas kerusakan yang terjadi disini. Tuntutan ini ada di setiap permukaan yang menunjukkan rusaknya lingkungan, yang bisa kita tangkap hanya dengan sekilas mata. Meskipun kita pada akhirnya memutuskan untuk mengabaikannya, tuntutan itu tetap ada disana.

Inti argumen Casey adalah, ternyata tuntutan etika untuk bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan ini berawal dari sebuah kilasan mata. Ini adalah gagasan baru, karena secara tradisional teori tentang etika biasanya berawal dengan permasalahan tentang norma, peraturan, pembenaran ilmiah dlsb. 

Ada beberapa hal yang saya tidak yakin disini. Pertama,  argumen Casey tentang ‘simplicity’ permukaan. Pertanyaan saya, apakah iya kesederhanaan ini suatu keharusan... suatu komponen dasar yang pasti, yang tidak bisa tidak? Menurut Casey ya, tapi saya merasa ada kejanggalan disini. Bayangkan permukaan karang yang penuh liuk liku, kasar disatu sisi tapi halus di sisi lain, yang terendam oleh oli, wujud liquiditas yang pekat dan padat. Kompleksitas yang bertumpuk-tumpuk. Apakah permukaan harus, seperti yang dikatakan Casey, ‘sederhana’?

Kedua, Casey menulis: “its (the glance) pointed penetrating power allows it to go straight to where the problem is...” Tapi menurut saya sekilas mata tidak mempunyai kapasitas untuk menembus permukaan menuju inti permasalahan. Ini adalah kemampuan dari sebuah tatapan (a gaze). Secara fenomenologis, ini adalah perbedaan signifikan. Karena, kalau fenomenologi bersikeras bahwa tubuh kita adalah ‘alat’ untuk memahami dunia, maka perlu ditekankan bahwa tubuh adalah semacam swiss-army knife: satu alat yang terdiri dari beberapa alat yang punya kemampuan-kemampuan berbeda dan spesifik. Kalau kilasan mata mampu ‘hinggap’ di permukaan sebuah lahan dan mulai memperhatikan apa yang terjadi disitu, tatapan mata menyusup kebawah permukaan ini dan menggerakan penafsiran dan penilaian. 



Monday 9 January 2012

Sebelum Budaya

Studi doktoral yang baru saya selesaikan membahas tempat-tempat yang disebut oleh Marc Auge sebagai nonplaces. Contoh yang diberikan Auge adalah jalan tol, tapi secara umum nonplaces bisa diidentifikasi sebagai berikut: tempat-tempat anonymous yang tidak mempunyai karakteristik unik, ‘bermakna’ hanya karena mereka adalah sebuah means to an end, tidak mencerminkan letak geografis dan kalaupun ya hanya secara kitsch, tempat-tempat yang mendukung partisipasi kesendirian dari si manusia yang kian ‘berjarak’ dengan dunia yang berputar cepat di sekitarnya.



Andreas Gursky, Autobahn, Bremen, 1991.


Metode utama yang saya gunakan adalah analisa fenomenologis, karena pada saat projek ini dimulai belum ada studi filsafat fenomenologi yang mengupas nonplaces. Hal ini sangat janggal. Karena, kenapa fenomenologi – yang katanya bertujuan membongkar asumsi dan pengertian awam tentang ruang-ruang keseharian kita – jarang menyentuh nonplaces sebagai topik penilitian? Apalagi ruang keseharian kita semakin dipenuhi dengan tempat-tempat nonplaces ini, seperti jalan-jalan tol, bandara internasional, toko dan restoran franchise. Bukankah semakin penting bahwa nonplaces dikaji secara fenomenologis?

Perspektif keilmuan yang sekarang kita sebut sebagai ‘Cultural Studies’ memang sudah banyak menawarkan penemuan yang berharga. Tanpa kajian ‘Cultural Studies’ tentunya kita akan menyepelekan bahwa tempat-tempat ini tetap sarat akan permasalahan kebudayaan, termasuk didalamnya persoalan soal gender, etnisitas, geopolitik, kesenjangan ekonomi, dlsb.Tapi, semua cabang keilmuan mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri – inilah sebabgnya aspirasi interdisciplinary (lintas-disiplin) sangat penting. Kekurangan ‘Cultural Studies’ adalah pengabaian akan pengalaman seseorang tentang ruang sekitarnya sebelum adanya renungan tentang berbagai permasalahan budaya yang saya sebut diatas. Sebuah tempat sering kali dijelaskan menurut asumsi-asumsi kebudayaan yang ada, sebelum pengalaman seseorang akan tempat itu ada.

Oleh karena itu, saya memutuskan untuk membuat sebuah studi fenomenologis tentang nonplaces. Nah, kekurangan fenomenologi terletak pada fokusnya akan kategori-kategori pengalaman yang menurutnya lebih ‘penting’ atau ‘berharga’ dari pengalaman-pengalaman lain. Dalam The Poetics of Space, misalnya, Gaston Bachelard memberikan status lebih ‘bergengsi’ pada pengalamannya akan rumah masa kecilnya di sebuah dusun Prancis yang beigtu idyllic dan picturesque daripada keadaan urban sebuah apartemen sewaan di Paris. Seperti tulisnya: “ In Paris there are no houses, and the inhabitants of the big city live in superimposed boxes.” (Hal. 26) Setting perkotaan, menurutnya, hanya punya ruang huni yang hampa; tidak akan bisa ada ‘rumah’ disana, hanya ‘kotak-kotak’ tempat transit tanpa akar.

Tradisi pemikiran Bachelard ini terus mempengaruhi penilitian fenomenologis saat ini, yang mengakibatkan sedikitnya – bahkan hampir tidak ada – upaya untuk mengkaji nonplaces. Studi-studi besar dari fenomenolog kontemporer kelas kakap saat ini seperti Jeff Malpas dan Ed Casey, misalnya, tidak pernah membahas ‘tempat-tempat tanpa akar’ ini secara mendalam. Bandara internasional, misalnya, sebagai tempat transit dimana orang datang hanya untuk pergi lagi, tanpa meninggalkan jejak apalagi akar, yang seakan ‘tercerai’ dari keadaan geografis sekitarnya dan susah untuk dibedakan dari kota A dan kota B... tempat-tempat ini jarang dibahas secara fenomenologis karena fenomenologi berasumsi tak mungkin bisa adanya ‘embodied experience’ atau ‘pengalaman pentubuhan’ yang bermakna disana.

Tapi apa iya?


Andreas Gursky, Schiphol, 1994


Bayangkan kita sedang berada di sebuah departure lounge di kota X, menunggu pesawat. Pengalaman seperti apa yang kita rasakan disini? Disini, ‘waktu’ seakan bergerak lambat, ditandai oleh kebosanan yang sebelumnya sudah kita coba atasi dengan cara melihat-lihat duty free shops dlsb. Disini, spasialitas departure lounge ­– ukuran, pencahayaan, perabot dan konotasi bahwa kita ‘dikurung’, misalnya – digabungkan dengan lelah atau antusiasme travelling, mempertajam kelesuan yang dirasakan saat menunggu untuk pesawat ini datang.




Tapi, tempat penuh kegelisahan ini tetap mempersilahkan kebiasaan-kebiasaan atau habits untuk terus berlangsung. Ingat rumpun kata ‘habit’ adalah kata Latin habere ­– artinya ‘memegang’. Kebiasaan-kebiasaan kitalah yang secara harafiah ‘memegang’ keberadaan kita disuatu tempat. Bayangkan datangnya rasa mengantuk saat kita duduk menganggur di kursi. Inertia yang dihasilkan dari posisi duduk merosot membuahkan lethargy yang dirasakan melalui kelopak mata yang semakin memberat, dan otot bahu yang mulai mengendur. Sadar bahwa tidur sedang merambat, kita meraih jaket yang akan digunakan sebagai bantal, untuk mengurangi ketidak-nyamanan bentuk kursi ini. Dengan jaket yang sudah digulung terjepit diantara leher dan ujung kursi, kita menggeser tubuh supaya bersandar miring, menarik kaki lebih dekat ke pangkalan kursi, mengepalkan kedua tangan dan menaruhnya dibelakan kepala, untuk membentuk semacam ‘kepompong’ yang akan menimbulkan rasa kantuk. Ini semua berlangsung tanpa kita sadari, berkat kebiasaan ‘tidur’ kita yang asal usulnya tak perlu diusut.


Seperti yang kita lihat disini, bahkan anonymity sebuah departure lounge pun tidak bisa menghapus keterikatan kita dengan tempat ini. Sebelumnya adanya bobot-bobot ideologis tentang kebudayaan, kita sudah terkait erat dengan tempat ini melalui tubuh kita. Berarti, pemaknaan akan tempat, pada dasarnya, berawal dari pengalaman yang dicerna melalui tubuh, dan baru setelah itu, berbagai kategori budaya yang kita asumsikan untuk mendefinisikan identitas kita.  

Thursday 5 January 2012

In the Meantime...



A little caught up with finishing a paper, completing course modules and reading lists, and attending to various other departmental duties.

In the meantime, let me share this with you. The first few seconds alone had me in giggles...





(Sorry, had to take it off.)